Sabtu, 06 Oktober 2007

Seni dan Digital

Dunia harus melalui masa waktu kurang lebih satu dekade untuk bisa memahami dentuman masif komputer grafis yang dicetuskan oleh Ivan Sutherland pada 1963 di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Lewat tesis doktoralnya ia memproklamirkan penemuannya yang disebut Sketchpad, sebuah sistem komputer yang difungsikan untuk mengambar garis secara langsung dengan layar komputer melalui pena cahaya. Pada masa itu ketika tetikus (mouse) belum ditemukan, untuk berinteraksi dengan komputer dalam menjalankan perintah-perintah, manusia menggunakan pena yang digerakkan-gerakkan di layar komputer. Dan itu dimaksudkan untuk menciptakan interaksi yang direpresentasikan secara grafis.

Fokus Sutherland pada masa itu adalah bagaimana mendayakan kemampuan komputer sedemikian rupa, sehingga pada tataran konsep bisa menghasilkan kemiripan visual. Seperti misalnya bagaimana foto realistik bisa dibuat menjadi citra komputer. Sutherland memutar otak bagaimana komputer bisa mengolah rangkaian-rangkaian bit yang menghasilkan citra grafis komputer, bisa meniru dunia nyata sebagaimana adanya. Ia pun berkutat pada persoalan-persoalan efek bayangan (shadow), pantulan (reflection), pembiasan (refraction) dan permukaan-permukaan tertutup.

Pada masa itu untuk menghasilkan antarmuka (interface) grafis pada layar komputer, Sutherland masih menggunakan konsep garis (vektor) yang tampilannya masih sederhana (kasar). Namun, penemuan itulah yang menjadi cikal bakal teknologi komputer grafis saat ini yang sangat masif digunakan dalam berbagai aplikasi. Kekurangan itu jugalah yang memberikan ilham bagi banyak orang bahwa penggunaan konsep rangkaian titik-titik (pixel) dalam komputer grafis justru lebih baik dibandingkan dengan menggunakan konsep garis.

Nicholas Negroponte dalam bukunya yang tersohor, Being Digital (1998) bahwa Sketchpad memperkenalkan beberapa konsep baru, di antaranya grafik dinamik, simulasi visual, resolusi kendala, pen tracking, dan sistem koordinat yang tak terbatas.

Kemampuan komputer grafis kini pun semakin tidak terbendung. Konvergensi antara teknologi komputer, telekomunikasi, elektronika, media massa, dengan budaya dan seni (baca: film dan dunia hiburan) membuat komputer grafis “haram” hukumnya jika dipandang sebelah mata.

Anda boleh menilai interpretasi ini sangat ekstrem. Tetapi melihat kondisi kontemporer, kemampuan komputer grafis masif digunakan dalam berbagai bidang. Misalnya dalam bidang percetakan (desain grafis), penyiaran televisi, CD ROM interaktif (multimedia), dalam pembuatan rancang-bangun gedung (arsitektur). Kemudian bidang bisnis, di mana pengusaha merasa perlu memberi sentuhan desain grafis untuk situs perusahaannya. Juga pada bidang yang sama memberikan kesan ruang tiga dimensi dalam situsnya, sehingga calon konsumen merasa sedang membeli di dalam sebuah toko.

Di bidang hiburan, semacam film dan permainan tiga dimensi (3D), kemampuan komputer grafis dikerahkan agar terlihat realistik. Bidang lainnya adalah ilmu pengetahuan. Kini dengan kemampuan komputer grafis 3D, “Anda bisa membuat Anatomi tubuh 3D yang dapat diputar-diputar, membuat struktur molekul, tata surya planet-planet dan sebagainya.” (Adi Kurniadi, 1999:9). Dan terakhir adalah bidang seni, dengan menggunakan perangkat lunak komputer grafis tertentu, semisal Adobe Photoshop, Anda bisa membuat hasil karya lukis (termasuk memanipulasi foto). Dan perangkat lunak 3D Studio Max menghasilkan karya seni realistik secara 3D.

Tetapi bidang yang paling menonjol dan populer adalah dalam bidang penyiaran televisi, desain grafis media cetak, pembuatan fim dengan efek visual khusus, serta film animasi 3D. Suksesnya film animasi 3D The Toys Story, Finding Nemo, Shark Tale, permainan video Tomb Raider barangkali bisa dijadikan sebagai salah satu parameter kemampuan komputer grafis itu.

Di saat produk budaya itu dikonsumsi oleh pasar, saat itu juga orang-orang muda mulai bermimpi bisa membuat sendiri film animasi seperti itu, berdasarkan gagasannya sendiri. Tentu ini didahului oleh kekaguman (yang tiada henti) mereka pada kemampuan komputer yang bisa “menghidupkan” benda mati (proses animasi) yang memiliki lebar, tinggi, kedalaman, efek cahaya, dan bayangan dan gerakan ke layar penampil. Proses animasi pada citra grafis 3D disebut juga proses penciptaan dimensi ke-4.

Kini kita tinggal di dunia komputer grafis, dunia yang mensimulasikan tata surya; matahari, planet, bintang-bintang; efek panorama sunset, tebing-tebing curam, pegunungan, ombak laut, meniru wajah tokoh terkenal, membuat replika planet Mars dan lain sebagainya. Jadilah sekarang perangkat lunak grafis semacam 3D Studio Max, Photoshop, Corel PhotoPaint, Corel Bryce, Maya, Rhino, Poser dan Lightscape menjadi senjata handalan yang “sakti mandraguna”. Konsumsinya dalam bentuk CD perangkat lunak dan buku-buku menjadi indikator penting. Belum lagi banyak sekali ulasan kemampuannya bermunculan di majalah dan tabloid teknologi informasi, berikut hasil karya, serta tip dan triknya. Ini juga menjadi penanda penting tumbuhnya apresiasi masyarakat terhadap komputer grafis, seni digital dan keinginan untuk berkomunikasi secara visual.

Kemampuan komputer yang bisa merepresentasikan dunia nyata manusia sama seperti aslinya, memberikan kesempatan pada kita menciptakan dunia kita sendiri yang kita anggap memang nyata adanya. Sungguh, ini adalah momen di mana manusia bisa mewujudkan mimpi-mimpi dan imajinasinya yang terdalam secara nyata.

Sedikit menyentuh pada istilah yang dipopulerkan oleh Jean Paul Baudrillard mengenai hiperrealitas, kemampuan komputer grafis sebagai simulator dapat dijelaskan dengan konsep ini. Hiperrealitas adalah konsep untuk menjelaskan fenomena sosial di mana manusia menganggap segala sesuatu yang dialaminya adalah sebuah kebenaran absolut. Padahal hal itu sebenarnya adalah kebenaran semu (bukan objek) yang dibuat melalui simulasi simbol-simbol, kode-kode yang dicitrakan sedemikian dari sebuah objek yang benar. Ini senada dengan pernyataan Kenneth E. Boulding (2003) dalam William L. Rivers dan Jay W. Jensen: Kompleksitas imajinasia manusia itu terbatas. Jika kompleksitasnya terlalu tinggi, maka yang muncul adalah citra-citra simbolik.

Jadi, ketika kita menonton film Hollywood mengenai bencana alam tornado, kita merasa kejadian itu benar-benar ada, lebih “tornado” daripada “tornado” yang sebenarnya! Inilah salah satu contoh adalah efek media massa seperti film dengan efek visual khusus berbantuankan komputer grafis yang mensimulasikan alam yang nyata, hingga kita sangat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang imajinasi. Sebab keduanya sudah menyatu dalam materi solid yang kita sebut sebagai gagasan seni, hiburan, media ekspresi, dan bisnis. Inilah hiperrealitas itu!

Sama halnya lagi ketika kita menonton adegan awak kapal laut yang panik ketika menemui badai di tengah laut. Sebagian dari kita pasti sangat percaya kalau itu memang benar-benar terjadi di tengah laut (di dunia nyata). Tetapi, sesungguhnya film itu dibangun dari banyak kombinasi, seperti seni peran aktor dan aktris (“seni berpura-pura menjadi orang lain”); trik kamera; efek visual berbantuankan komputer untuk membuat ombak, kabut; dan efek suara (sound effects).

Maka di sisi yang satu ini efek visual dengan bantuan komputer grafis, sesungguhnya memainkan peran mensimulasikan sebuah peristiwa yang sesungguhnya tidak terjadi. Bahkan ada ada pengamat yang mengatakan bahwa efek visual yang ditambahkan dalam sebuah film, sesungguhnya seorang pemeran (aktor/aktris yang handal).

Ini juga sekaligus memberikan gambaran bagi kita bahwa efek lain yang terbentuk dari kemajuan komputer grafis adalah perannya menciptakan media baru bagi seni (khususnya seni visual). Ini juga sekaligus menggeser batas-batas atas definisi seni itu sendiri. Inilah yang pernyataan Pfaffenberger dalam bukunya Computer in Your Future (2002): Computers assist artists in many ways for example, by making the tasks of creating art more convinient. But computers area also pishing the boundaries of art, forcing us to question just what art really is (halaman 271). The fine arts—including painting, drawing, illustration, and sculpture—are changing as artists increasingly see the computer as an artistic medium (halaman 277).

Dan seni pun kini mendapatkan momen revolusi-nya di mana dengan perpaduan konsep digital, seni menjadi lebih demokratis dan personal. The turn of the new century was a heady and revolutionary period in the development of Art that saw, through the introduction of digital tools, a great democratization in art making and began a period of time where in the cracks in the dam of the traditional Fine Arts world began to show

(JD Jarvis, 2001/www.moca.virtual.museum).

Kini dengan penggunaan perangkat lunak komputer grafis, hasil-hasil keluaran (output) yang diciptakannya juga disebut sebagai seni digital (digital art). Walaupun status genre seni ini masih terus diperdebatkan banyak pakar dan kritikus, rasanya sangat sulit menolak kalau citra grafis yang dihasilkan komputer grafis sangatlah indah dan imajinatif. Termasuk mengenai perdebatan apakah kamera digital merupakan praktik seni fotografi dan atau photo-manipulation (manipulasi foto) dan photo-collage (kolase foto) adalah produk seni.

Ke depan, laju percepatan teknologi komputer grafis sangat didukung oleh semakin canggihnya perangkat keras pengolah grafis dan perangkat lunak grafis 3D. Ini sekaligus akan menjadi penanada semakin diterimanya komputer grafis sebagai perkakas para seniman di seluruh dunia.

Teknologi 3 Dimensi Memacu dan Memperluas Imajinasi

MUNGKIN dalam menjalankan kehidupan sekarang ini tidak ada orang yang tidak bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai animasi grafis tiga dimensi (3D), baik di layar televisi, layar bioskop, maupun permainan video (video game). Dan dalam waktu yang tidak lama lagi, grafis 3D menjadi semakin dekat dengan pengalaman kita menggunakan komputer.

Kedekatan kita dengan grafis 3D akan terjadi bersamaan dengan munculnya sistem operasi Windows mendatang buatan Microsoft yang sekarang diberi nama sandi Longhorn. Windows terbaru akan menerapkan sebuah antarmuka pengguna (User Interface) berbasis 3D, menghadirkan tampilan lebih hidup menjadikan penggunaan komputer masa datang lebih menyenangkan.

Kemajuan yang dicapai dalam kecepatan komputasi memberikan sumbangsih cukup besar dan sangat berperan dalam perkembangan teknologi 3D sekarang. Tersedianya berbagai prosesor kecepatan tinggi di pasaran memang telah mendorong kemunculan berbagai aplikasi 3D yang membantu mendorong kita menjadi lebih kreatif dalam menghasilkan berbagai karya, baik itu berupa foto digital, video digital, maupun rancangan lain dengan pemanfaatan spesifik.

Komputasi 3D merupakan program yang jauh lebih rumit dibandingkan dengan memproses kata atau aplikasi untuk mengedit gambar. Ini antara lain disebabkan karena aplikasi 3D bisa dibayangkan sebagai keseluruhan lokakarya virtual yang lengkap dan utuh dari pada hanya sebuah kanvas atau kertas yang datar di atas meja di mana seseorang berimajinasi.

Kita akan mengira kalau 3D adalah sebuah mimpi. Tetapi di sisi lain, melihat berbagai pengejawantahan aplikasi 3D terutama pada film layar lebar, 3D adalah sebuah kehidupan baru. Ketika film The Matrix menampilkan sebuah ponsel futuristik dalam sekuel Reloaded, Samsung asal Korea Selatan menciptakannya sebagai sebuah produk ponsel yang sama dengan yang ada di film (lihat http://www.TheMatrixPhone. com).

Kebangkitan fenomenal

Kebangkitan popularitas perangkat lunak 3D memang menjadi sangat fenomenal. Sepuluh tahun lalu mungkin akan sangat sulit untuk mencari aplikasi 3D yang dibutuhkan bagi komputer kita. Mungkin ada beberapa di pasaran, tetapi harganya pun bisa mencapai ribuan bahkan belasan ribu dollar AS.

Sekarang, dengan peningkatan tenaga prosesor secara masif dan murahnya perangkat keras, tiba-tiba saja kita dibanjiri dengan berbagai ragam perangkat lunak 3D yang terbentang dari berbagai macam harga dan ragam keahlian yang dimiliki penggunanya. Mulai dari aplikasi 3D untuk pemula sampai perangkat lunak khusus bagi para animator profesional.

Salah satu perangkat lunak 3D terbaik yang pernah dicoba Kompas adalah Maya buatan Alias|Wavefront (http://www. alias.com) yang sekarang sudah tersedia versi 5. Perangkat lunak Maya menjadi basis yang mendasar bagi industri film dan animasi teve karena berbagai fiturnya yang sangat luas dan kekenyalan dalam penggunaannya.

Pada perangkat Maya 5 yang terbaru, dimungkinkan rendering perangkat keras dengan meningkatkan kualitas image penyiaran bisa dihasilkan 20 kali lebih cepat dibandingkan dengan versi sebelumnya. Ada dua versi Maya, Unlimited dan Complete, yang juga menyediakan aplikasi gratis versi PLE (Personal Learning Edition).

Aplikasi Maya 5 adalah yang paling lengkap bagi berbagai macam kebutuhan penciptaan animasi maupun image 3D, mulai dari pembentukan model, render, serta animasi. Sedangkan versi Unlimited memiliki berbagai fitur menarik seperti bahan pabrikasi, simulasi dinamis dan cair, efek gambar 3D, dan berbagai standar industri yang berkaitan dengan rendering.

Isu kritikal

Penggunaan aplikasi 3D sekarang menjadi semacam fashion, sama seperti halnya orang menggunakan ponsel yang tiap kali berganti bersamaan dengan tersedianya model baru di pasaran. Para pengembang situs Web maupun aplikasi perangkat lunak, misalnya, menginginkan tampilan 3D sebagai bagian untuk menarik perhatian orang akan kecanggihan produknya.

Aplikasi seperti Maya 5 menunjukkan kalau kualitas 3D akan menjadi lebih baik dalam kurun waktu 3-4 tahun ke depan. Dan bersamaan dengan semakin canggih kemampuan aplikasi 3D, dengan sendirinya juga akan dibutuhkan sebuah komputer yang mampu melakukan komputasi secara cepat, sistem penyimpanan data 3D yang lebih besar, serta semakin membaiknya tampilan monitor dengan resolusi yang lebih mendekati kenyataan.

Memang, masih ada beberapa isu kritikal bagi berkembangnya aplikasi 3D di masa-masa mendatang ini, termasuk di antaranya faktor harga, kemudahan penggunaan, kebutuhan konsumen akan tampilan 3D, fungsi lintas platform, standarisasi, dan lainnya. Semua faktor ini bersamaan dengan berjalannya waktu akan lebih mendorong diterapkannya penggunaan 3D ke berbagai bidang kehidupan yang tidak hanya untuk memukau para penggemar film maupun kemewahan animasi dalam game komputer saja.

Perangkat lunak 3D sekarang luas tersedia. Yang diperlukan bagi kita adalah memacu dan memperluas imajinasi kita untuk menjadikan kehidupan dengan berbagai persoalannya ini menjadi pendorong yang bermanfaat. Persoalannya apakah kita mau dan mampu? (rlp)

Aplikasi Komputer Grafis Melalui Teknologi CGI

Kalau kita tengok ke belakang, �Toy Story� (1995), film debutan Pixar yang dibiayai dan dipasarkan The Walt Disney Company itu sukses besar sebagai film pertama yang secara penuh menggunakan teknologi komputer. Sejak saat itu studio animasi digital lain seperti Blue Sky Studios (Fox), DNA Productions (Paramount Pictures and Warner Bros.), Onation Studios (Paramount Pictures), Sony Pictures Animation (Columbia Pictures), DreamWorks, dan yang lainnya tak mau ketinggalan untuk memproduksi film sejenis.

Tentu tak sedikit dari kita yang mempertanyakan dengan teknologi apa dan bagaimana film-film kreatif ini dibuat. Ternyata, kunci pembuatan film-film ini adalah sebuah aplikasi komputer grafis yang disebut computer generated imagery (CGI). Dengan perangkat lunak ini bisa diciptakan gambar 3D lengkap dengan berbagai efek yang dikehendaki. Beberapa software CGI populer antara lain Art of Illusion (bisa di-download di sourceforce.net), Maya, Blender, dan lain-lain.

CGI 2D dipakai pertama kali pada film �Westworld� (1973) karya novelis scifi Michael Crichton dan sekuelnya �Futureworld� (1976) menggunakan CGI 3D untuk membuat tangan dan wajah yang dikerjakan oleh Edwin Catmull, ahli komputer grafik dari New York Institute of Technology (NYIT). Tapi, tidak semua film berhasil memberikan sentuhan animasi yang bagus. Film �Tron� (1982) dan �The Last Starfighter� (1984) termasuk yang gagal karena efek yang mereka berikan kelihatan sekali buatan komputer.

Revolusi �Jurassik Park�

Teknologi CGI biasa dipakai dalam pembuatan film, program televisi, dan beberapa iklan komersial, termasuk media cetak. Aplikasi ini memberikan kualitas grafis yang sangat tinggi dengan efek yang lebih terkontrol daripada metode konvensional seperti membuat miniatur untuk pembuatan adegan kecelakaan yang dramatis atau menambah aktor figuran untuk menggambarkan suasana keramaian penuh sesak.

Di tahun 1991 film �Terminator 2: Judgement Day� yang dibintangi Gubernur California sekarang Arnold Schwarzeneger membuat decak kagum penonton dengan efek morphing (perubahan dari satu wajah/bentuk ke wajah/bentuk yang lain secara halus) dan liquid metal si penjahat pada beberapa aksinya. Dua tahun kemudian film legendaris tentang dinosaurus, �Jurassic Park� juga memberikan efek visual yang mengagumkan pada makhluk purba itu sehingga tampak betul-betul hidup. �Jurassic Park� membawa revolusi pada industri perfilman dan Hollywood bertransisi dari animasi konvensional menjadi teknik digital.

Tahun berikutnya, �Forrest Gump�, film drama dengan aktor tersohor Tom Hanks, juga memanfaatkan teknologi CGI untuk efek menghilangkan salah satu kaki Letnan Dan (dimainkan Gary Sinise) agar tampak pincang betulan. Efek lainnya adalah pergerakan bola ping-pong yang sangat cepat ketika dimainkan oleh Tom Hanks. Bahkan, adegan dengan efek bulu melayang di udara merupakan garapan sebuah studio animasi di Bandung.

�Digital grading�

CGI pun semakin mendarah daging dalam industri perfilman modern selanjutnya. Mulai tahun 2000-an, CGI memegang peran dominan untuk pemberian efek visual pada sebuah film.

Teknologinya pun berkembang sehingga memungkinkan dalam sebuah adegan berbahaya, sang aktor digantikan oleh aktor ciptaan komputer dengan perbedaan yang tidak kentara. Figuran yang diciptakan dengan komputer seperti pada triloginya Peter Jackson, �Lord of The Ring�, pun banyak dipakai untuk menciptakan adegan keramaian penuh sesak, tentu dengan bantuan perangkat lunak simulasi.

Salah satu efek CGI dalam film yang kurang dikenal, namun penting, adalah digital grading. Dengan efek ini warna asli hasil shooting direvisi menggunakan perangkat lunak untuk memberikan kesan sesuai dengan skenario. Contohnya wajah Sean Bean (pemeran Boromir) dalam �The Lord of the Rings: the Two Tower� ketika mati dibuat lebih pucat. Jadi, tidak dengan trik kosmetik, tetapi dengan polesan komputer.

Lantas, bagaimana dengan mimik wajah yang bisa mengekspresikan perasaan haru, sedih, ataupun gembira pada tokoh ciptaan komputer? Dalam pembuatannya, animasi komputer mengkombinasikan vektor grafik dengan pergerakan yang sudah terprogram. Bagian-bagian utama seperti pada wajah, tangan, kaki, dll terdiri dari sejumlah variabel animasi yang akan dikendalikan dengan pemberian nilai tertentu untuk menampilkan ekspresi atau mimik wajah yang dikehendaki.

Tokoh Woody dalam �Toy Story� terdiri dari 700 variabel animasi dengan 100 variabelnya sendiri untuk wajahnya saja. Jadi, tidak heran berbagai ekspresi wajah seperti tertawa, terkejut, dan sedih bisa dibuat dengan mempermainkan 100 variabel tadi.

Cukup mahal

Sekumpulan variabel dengan nilai yang berubah pada setiap frame yang ditampilkan berurutan menjadi kontrol pergerakan figur tersebut. Hebatnya, animator �Toy Story� mengendalikan variabel-variabel animasinya secara manual. Bisa jadi, bagi seorang animator yang berbakat, terampil dan berpengalaman malah menghasilkan efek yang lebih bagus dibanding acting orang asli.

Kalau dilihat dari ukurannya, satu frame CGI untuk film biasanya dibuat berukuran 1,4–6 megapiksel. Contohnya, �Toy Story� berukuran 1536 x 922 (1,42 megapiksel). Bayangkan saja, ternyata waktu yang dibutuhkan untuk rendering tiap frame sekira 2-3 jam, bahkan bisa 10 kali lebih lama untuk menciptakan adegan yang sangat kompleks. Meskipun kecepatan CPU makin tinggi, tidak banyak mengubah waktu yang dibutuhkan karena mereka akan membuat adegan yang lebih kompleks lagi untuk hasil yang lebih bagus lagi. Kendati demikian, dengan peningkatan eksponensial kecepatan CPU, teknologi CGI juga makin potensial ke depan.

Sebagai gambaran, untuk pembuatan film �Madagascar�, para teknisi menggunakan 2.500 komputer Linux Cluster yang dipasang di dua studio Dream Works dan lab penelitian komputer Hewlett Packard di Palo Alto, California. Komputer sebanyak itu digunakan untuk �tugas besar� siang malam rendering frame demi frame film berukuran gigabit. Untuk membuat film �Madagascar� sampai jadi, dibutuhkan waktu lebih dari 11 juta jam.

Menurut Andy Hendrickson, kepala produksi DreamWorks, separuh dari anggaran biaya produksi yang kabarnya mencapai 90 juta dolar AS dipergunakan untuk animasi komputer. Dalam produksinya itu DreamWorks sekaligus menciptakan beberapa teknik yang bisa digunakan lagi untuk film-film animasi selanjutnya.

Penutup

Tidak semua film ciptaan komputer berjalan mulus menjadi box office di pasaran. Contohnya, film yang dikembangkan dari sebuah game yaitu �Final Fantasy: The Spirit Within� (2001). Meski terkenal sebagai film pertama yang menciptakan tokoh manusia dengan CGI, tapi pasar tak antusias menyambutnya. Tak heran bila setelah produksi ke-2 �Final Flight of the Osiris� sebuah film pendek sebagai prolog film �The Matrix Reloaded�, Square Pictures gulung tikar.

Pengembangan teknologi CGI terus dilaporkan setiap tahun pada konferensi tahunan SIGGRAPH mengenai komputer grafis dan teknik interaktif yang dihadiri oleh puluhan ribu profesional komputer. Di sini para tokoh di balik penciptaan animasi-animasi bertemu. Bukan hal yang tidak mungkin suatu hari kelak para animator Indonesia pun akan banyak berbicara di pentas dunia.***

Dreamworks Vs Pixar Kebut-Kebutan di Dunia Animasi

Ada dua film animasi yang bisa kita nikmati sekarang ini: Shark Tale dan The Incredibles. Keduanya merupakan produksi studio besar yang sudah bersaing sejak dulu: Pixar dan Dreamworks.


Dalam minggu-minggu ini, kita bisa menikmati dua film animasi keren yang jadi omongan di mana-mana: Shark Tale dan The Incredibles. Ceritanya sama-sama seru, menghibur dan tentu saja pamer teknologi animasi tercanggih.

Shark Tale bercerita soal hiu baik hati bernama Lenny (disuarakan oleh Jack Black). Karakternya berbeda dengan keluarganya yang dikenal sebagai mafianya dunia bawah laut. Lenny ini kemudian berteman dengan seekor ikan sok tau yang ingin banget ngetop, Oscar (disuarakan oleh Will Smith). Oscar ini akhirnya kesampaian juga menjadi beken setelah dia mengakui telah membunuh Franky, saudara Lenny.

Sementara The Incredibles berkisah soal kehidupan keluarga mantan superhero. Sang bokap, Bob Parr (disuarakan oleh Craig T Nelson) dulunya terkenal sebagai Mr. Incredibles yang punya kekuatan besar. Sementara istrinya, Helen, dikenal sebagai Elastica (disuarakan oleh Holly Hunter). Mereka punya tiga anak Violet, Dash, dan Jack Jack. Seperti ortunya, mereka juga punya kekuatan dan sayangnya enggak boleh dipergunakan karena bisa membahayakan keselamatan keluarga. Namun Bob akhirnya enggak tahan juga untuk mempergunakan kembali kekuatannya ketika dia mendapat tawaran pekerjaan dari seseorang yang misterius. Dan tanpa diketahuinya ternyata tawaran itu adalah pancingan untuk membunuh diri dan keluarganya.

Bukan kebetulan

Asal tahu saja pemutaran dua film ini waktunya cukup berdekatan lho. Setelah beberapa minggu Shark Tale muncul, langsung disusul oleh The Incredibles. Di Amrik sendiri pemutaran perdana kedua film ini enggak beda jauh jaraknya. Shark Tale premiere pada tanggal 1 Oktober 2004. Ini berbeda sekitar satu bulan dengan The Incredibles yang premiere tanggal 5 November 2004.

Bukan kebetulan kalau Shark Tale dan The Incredibles diputar dalam waktu yang berdekatan. Ini salah satu bentuk persaingan antara Pixar yang memproduksi The Incredibles dengan Dreamworks yang memproduksi Shark Tale. Pixar dan Dreamworks memang sejak dulu sudah jadi saingan berat. Sebagai dua perusahaan animasi yang besar di Amrik mereka selalu kebut-kebutan untuk menjadi yang terbaik di bidang animasi 3D atau yang lebih dikenal dengan sebutan CGI (Computer-Generated Imagery). Teknologi CGI ini membuat gambar yang dihasilkan lebih bagus dan terlihat seperti nyata.

Teknologi ini pertama kali diperkenalkan ke publik secara luas lewat film Toy Story (1995) garapan Pixar. Toy Story merupakan film animasi panjang pertama yang menggunakan teknologi CGI. Studio yang berpartner dengan studio Walt Disney ini memang rajin banget mengembangkan teknologi 3D. Pixar dibentuk oleh John Lasseter, salah satu tim animasi di Disney. Dia keluar dari Disney dan bergabung dengan perusahaan spesial efek komputer milik George Lucas (sutradara terkenal yang membuat film Star Wars). Pada perkembangan selanjutnya divisi ini jadi divisi independen yang diberi nama Pixar.

Awalnya Pixar hanya memiliki 44 orang pegawai. Pada saat itu mereka mulai membuat film pendek pertama yang berjudul Red's Dream. Dan masuk sebagai nominasi dalam Academy Award sebagai Best Animated Short Film. Setelah bikin film pendek, mereka mulai melangkah menggarap iklan. Setelah cukup banyak iklan yang dibuat, mulai deh perusahaan ini, yang berpartneran dengan Walt Disney Studios, mulai mengembangkan film animasi.

Pixar jadi bahan omongan setelah dirilisnya Toy Story tahun 1995. Film ini jadi film animasi komputer yang pertama. Setelah itu mereka terus merilis film-film animasi seperti A Bug's Life (1998), Toy Story 2 (1999, Monsters Inc. (2001), Finding Nemo (2003), dan terakhir The Incredibles (2004). Oh ya Pixar punya keunikan dalam merilis film mereka. Sebelum film utama dimulai, kita selalu disuguhkan animasi pendek dulu.

Saingan Pixar adalah Dreamworks Animation. Dreamwork baru muncul belakangan, tapi keberadaannya langsung dilirik pencinta film. Film animasi pertama mereka yang meraih sukses adalah Antz (1998). Yang unik dari film ini adalah, wajah semut-semut dalam animasi ini mirip dengan si pengisi suaranya seperti Woody Allen, Sharon Stone, dan Sylverster Stallone.

Saat Antz dirilis, ini mulai kelihatan deh adanya persaingan antara Pixar dengan Dreamworks. Studio milik sutradara terkenal Steven Spielberg ini sebelumnya lebih banyak memproduksi film-film non-animasi. Teknologi CGI yang dimiliki oleh Dreamworks lebih banyak dipakai dalam film non-animasi. Contoh kehebatan teknologi buatan Dreamworks bisa kita lihat di film Jurasic Park atau Men In Black.

Rupanya Dreamworks mau juga merambah ke dunia animasi. Gebrakan pertama mereka ya Antz itu. Entah kebetulan atau enggak, ternyata cerita Antz itu mirip dengan A Bug's Life lho. Keduanya berkisah tentang kehidupan di koloni semut.

Sejak saat itu mulai deh antara Pixar dan Dreamworks saling kebut-kebutan untuk membuat film animasi. Apa yang dibuat Pixar selalu ditandingi oleh Dreamworks dan sebaliknya. Setelah A Bug's Life, Pixar meliris Monster Inc. Film ini berkisah tentang monster biru yang tugasnya menakuti anak kecil tapi pada akhirnya menjadi monster yang baik hati. Eh, Dreamwork bikin cerita soal monster juga. Mereka merilis Sherk (2001). Ceritanya berkisah soal monster atau Ogre bernama Shrek yang baik hati dan penolong. Tahu enggak dalam bahasa Yiddish, bahasa yang digunakan orang Yahudi, Sherk itu artinya monster lho!

Dreamwork boleh bangga. Karena Shrek jadi film animasi pertama yang berhasil meraih Best Animated Feature Film di Oscar 2001. Salah satu saingannya kala itu adalah Monster,Inc. Kesuksesan Shrek disusul dengan dirilisnya Shrek 2 (2004). Katanya sih Dreamworks sekarang sedang mempersiapkan Shrek 3 (ya ampun! Kebiasaan deh, kalau udah sukses dibikin sekuelnya terus :b)

Persaingan terakhir mereka terlihat di Finding Nemo dan Shark Tale. Finding Nemo berkisah tentang Marlin, a clown fish yang berusaha untuk mencari anaknya yang hilang. Finding Nemo merupakan salah satu bukti kehebatan Pixar. Soalnya mereka bisa membuat film dengan kisah dalam air. Katanya nih, bikin animasi untuk suasana dalam air secara nyata dan bagus itu susah. Gelembung-gelembungnya air yang terlihat kalau enggak jago bikinnya bisa terlihat aneh. Cerita Shark Tale pun mengambil lokasi di dunia bawah air. Yang mungkin membedakan adalah wajah karakternya mirip dengan wajah pengisi suaranya.

Menyiapkan pengacara

Persaingan antara Pixar dan Dreamworks sampai masuk ke dalam isi cerita lho. Misalnya dalam film Finding Nemo nih. Pada salah satu adegannya, Dory berteriak 'Pick Me, Pick Me' pada Marin saat Marin butuh teman untuk mencari anaknya. Teriak ini mirip banget dengan teriakan Donkey pada Shrek saat mereka tiba di tempat lumpur milik Shrek.

Adegan yang mirip lainnya. Dory yang berisik dan doyan nyanyi diminta oleh Marin untuk bernyanyi. Ini sama dengan kejadian Shrek meminta Donkey berhenti bernyanyi. He he he kok bisa mirip gitu ya!

Di Shrek2 Dreamwork membalas ulah Pixar. Masih ingat enggak ada sebuah boneka kayu di lemari yang bernyanyi lagu Welcome to Duloc? (Lupa ya? Entar nonton lagi deh filmnya!) Nah lagu yang dinyanyikan itu pelesetan dari lagu milik Disney (yang jelas-jelas adalah partnernya Pixar) yang berjudul It's a Small World. Lagu ini merupakan theme park dari Disneyland. Tahu enggak tim Dreamwork sampai niat lho menyediakan pengacara untuk berjaga-jaga kalau pihak Disney akan menuntut karena ada adegan itu.

Kayaknya kebut-kebutan antara 'bus' Pixar dan 'bus' Dreamwork makin seru saja. Untuk ke depannya dua studio raksasa ini sudah menyiapkan banyak film animasi. Pixar akan merilis Car, sedangkan Dreamwork akan merilis Madagascar, Wallace and Gromit, Over The Hedge, Flushed Away dan tentu saja Shrek 3.

Ini tentu saja merupakan keuntungan buat penonton. Kita akan makin banyak pilihan untuk hiburan. Kalau dua 'bus' ini makin menaikkan kecepatan ngebutnya, tentu film yang dibuat pun makin bersaing kualitasnya. Tinggal kita deh yang milih mana yang lebih bagus untuk ditonton. Well, asal jangan tiba-tiba mereka merger ya! Kalau udah kompak dan semangat kompetisi enggak ada, malah jadi melempem deh.

Oh ya persaingan film animasi akan makin seru karena enggak hanya Pixar dan Dreamworks yang memproduksi animasi. Blue Sky, studio milik Fox, mulai membesar dan memperlihatkan taringnya. Saat ini mereka memang baru menghasilkan Ice Age tapi mereka sudah menyiapkan film lainnya. Lalu ada juga Disney. Studio raksasa yang dulu jagonya animasi memang sempat ketinggalan karena mereka memakai teknologi 2D (misalnya Beauty and The Beast, Mulan, dan banyak lagi). Tapi mereka enggak tinggal diam lho. Tahu kan Brother Bear? Ini film animasi mereka yang sebagian sudah menggunakan 3D juga. Kayaknya tahun ke depan Disney makin serius di animasi 3D nih. Apalagi partnership mereka Pixar di tahun 2006 bakal selesai, mau enggak mau mereka harus terjun sendiri ke persaingan animasi 3D.